Minggu, 20 Februari 2011

Surimi Ikan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

            Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton pertahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Di samping itu juga terdapat potensi perikanan lain yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu (a) perikanan tangkap di perairan umum seluas 54 juta ha memiliki potensi produksi 0,9 juta ton per tahun; (b) budidaya laut yang meliputi budidaya ikan, budidaya moluska dan budidaya rumput laut; (c) budidaya air payau dengan potensi lahan pengembangan sekitar 913.000 ha; (d) budidaya air tawar meliputi budidaya di perairan umum, budidaya di kolam air tawar dan budidaya mina padi di sawah; serta (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri farmasi, kosmetik, pangan, pakan dan produk-produk non-konsumsi (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).
Sektor perikanan Indonesia pada era globalisasi ini memiliki prospek pengembangan yang sangat potensial. Hal ini dapat dilihat dari industri pangan hasil perikanan yang semakin berkembang dan beragam jenisnya. Salah satu bahan pangan perikanan yang pada saat ini sedang berkembang di Indonesia adalah surimi (Santoso, 2008).
Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses yang diperlukan untuk mengawetkannya. Surimi adalah protein miofibril ikan yang telah distabilkan dan diproduksi melalui tahapan proses secara kontinyu yang meliputi penghilangan kepala dan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air, penambahan cryoprotectant, dilanjutkan dengan atau tanpa perlakuan, sehingga mempunyai kemampuan fungsional terutama dalam membentuk gel dan mengikat air (Matsumoto, 1992).
Surimi dibuat dari daging ikan yang telah dipisahkan bagian kepala, jeroan, kulit dan tulangnya, yang kemudian mengalami perlakuan pelumatan dan ditambah beberapa bahan pembantu untuk mendapatkan mutu yang dikehendaki. Surimi merupakan produk antara atau bahan baku untuk pembuatan produk selanjutnya, antara lain bakso, sosis, kamaboko, chikuwa, fish stick, agemono, detemaki, dan beberapa produk imitasi seperti telur, kaki atau daging kepiting, udang, daging kerang, daging sapi dan lain-lain (Koswara, 2008).

1.2    Tujuan Dan Kegunaan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari dan memahami proses pengolahan surimi ikan. Sedangkan kegunaanya adalah agar mahasiswa dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang proses pengolahan surimi ikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

IKAN SEBAGAI BAHAN BAKU SURIMI


Surimi dengan mutu baik adalah yang berwarna putih, mempunyai flavor (cita rasa) yang baik dan berelastisitas tinggi. Selain itu makin segar ikan yang digunakan, elastisitas teksturnya makin tinggi. Untuk ikan yang mempunyai elastisitas yang rendah dapat ditingkatkan elastisitasnya dengan menambahkan daging ikan dari spesies yang lain, dan dilakukan penambahan gula, pati atau protein nabati. Untuk memperbaiki elastisitas surimi biasanya digunakan cumi-cumi. pH ikan yang terbaik untuk surimi adalah 6.5 – 7.0 dan sebaiknya ikan tersebut berlemak rendah. Untuk ikan yang berlemak tinggi seperti lemuru, lemak tersebut harus diekstrak atau dikeluarkan lebih dulu. Lemak akan berpengaruh terhadap daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah tengik (Koswara, 2008).
 Menurut Anggawati (2002), keuntungan pembuatan ikan  menjadi surimi adalah :
1.    Suplai dan harganya stabil, karena surimi dapat disimpan lama dan ini memudahkan perencanaan  produksi olahannya;
2.    Biaya penyimpanan dan transportasi lebih rendah, karena surimi merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja;
3.    Menghemat tenaga kerja, karena penanganannya lebih mudah;
4.    Masalah pembuangan limbah lebih kecil.
Untuk parameter pada karakteristik surimi berdasarkan SNI (01-2649-1992) :
Tabel 01. Karakterisasi Surimi
Karakterisasi
Ciri-ciri
Rupa dan warna
Aroma
Tekstur
Rasa  
bersih, warna daging spesifik jenis ikan
segar spesifik jenis
elastis, padat dan kompak
netral agak manis
Bahan baku harus segera diolah agar mutu dapat dipertahankan, bahkan bahan baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5ÂșC), kondisi sanitasi dan higienis (SNI 10-2694-1992 dalam Haetami 2008).
2.1  Komposisi Kimia Ikan
            Komposisi kimia ikan sangat penting untuk diketahui, bukan saja dari aspek pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia, tetapi dari aspek pemanfaatan dalam pengolahan dan pengawetannya bagi kebutuhan konsumsi manusia. Secara umum komposisi kimia berdasarkan jenis ikan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 02.  Variasi komposisi kimiawi beberapa jenis hasil perikanan yang disebabkan oleh perbedaan jenis.
No.
Jenis Ikan
Air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Abu (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Tuna
Herring
Mackerel
Kembung
Karper
Salmon
Belanak
Layang
Bandeng
Bawal
Kakap
Selar
Ekor kuning
68,1
69,0
63,0-82,1
73,3-79,3
75,0-79,3
69,0-78,3
73,0
-
-
-
-
75,3-76,0
-
20,9
18,5
15,9-22,4
16,6-21,4
18,1-19,6
17,2-20,6
20,0
20,0
20,0
19,0
20,0
17,7-21,0
17,0
9,4
11,0
0,2-14,4
0,5-4,1
0,2-4,0
2,0-9,4
2,5
1,7
4,8
1,7
0,7
1,9-4,6
4,0
5,0
1,0
1,2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
(Sumber : Hadiwiyoto, 1993, diacu dalam Arifin S. 2007)
            Pada umumnya komposisi kimia yang utama dari ikan terdiri dari : Air kadarnya sebanyak 66,0 – 84,0%. protein kadarnya sebanyak 15,0 – 24,0%, lemak kadarnya 0,1 – 22,0%, dan mineral-mineral kadarnya sebanyak 0,8 – 2,0% (Murachman, 1987).
2.2  Komposisi Kimia Surimi
            Menurut USDA Database Makanan Gizi 16-1, komposisi kimia surimi adalah 76% air, 15% protein, 6,85% karbohidrat, 0,9% lemak, dan 0,03% kolestrol (http://translate.google.co.id/2008/surimi).
Komponen daging yang berperan dalam produk pembuatan surimi adalah protein, khususnya protein yang besifat larut dalam garam, terutama aktin dan miosin yang merupakan komponen utama dari protein ikan yang larut garam (protein miofibrilar) dan berperan penting dalam membentuk karakteristik utama surimi, yaitu kemampuan untuk membentuk gel yang kokoh tetap elastis pada suhu yang relatif rendah (sekitar 40oC). Fungsi protein adalah sebagai bahan pengikat hancuran daging dan sebagai emulsifier (Nurfianti, 2007).
Menurut Santoso et al. (1997) dalam Haetami (2008), kolagen dan elastin merupakan komponen penyusun protein jaringan ikat (stroma). Jumlahnya berkisar 3% dari total protein otot ikan teleostei dan sekitar 10% dalam ikan elasmobranchii, sedangkan pada mamalia berkisar 17%. Bila jaringan penghubung yang mengandung sebagian besar kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama, kolagen berubah menjadi gelatin. Pada saat yang sama, sebagian besar jaringan penghubung akan hilang dan daging ikan terpisah dengan miomer.
Kualitas surimi dapat dilihat dari kecemerlangan (mengkilap) warna, rasa, kesegaran, bau dan elastisitas teksturnya. Umumnya surimi mengandung 16% protein, 75% air, 6, 75% karbohidrat dan 1% lemak (Anggawati, 2002).

BAB III
SURIMI SEBAGAI BAHAN PANGAN
3.1  Perkembangan Industri Surimi
            Menurut Anggawati (2002), dalam dunia internasional konsumsi produk yang terbuat dari surimi semakin meningkat, terutama di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, dimana orang semakin sadar manfaat makan ikan dan menghindari konsumsi daging ternak yang banyak mengandung lemak jenuh. Orang makin menyukai analog makanan laut karena harganya yang jauh lebih murah dibanding yang asli.
            Lanjut Anggawati (2002) menambahkan, pada industri surimi dibutuhkan bahan baku ikan yang melimpah dengan harga yang murah. Sebagai bahan baku dapat juga digunakan ikan air tawar yang suplai dan kesegaran mutunya lebih terjamin. Hanya saja dalam pengolahan surimi ikan air tawar diperlukan bahan pembantu pembentukan gel seperti pati dan protein karena sifat fungsional protein ikan air tawar lebih rendah dibanding ikan air laut. Suatu produk yang mendapat hak paten dan dapat digunakan untuk membantu pembentukan gel adalah AMP 600. Bahan protein alami ini dapat ditambahkan sebanyak 0,5 - 1%. Dikatakan bahwa protein alami ini dapat menghambat enzim protease yang dapat merusak tekstur surimi.
            Pembuatan surimi harus dilakukan sehigienis mungkin dan pada suhu rendah. Mesin dan peralatan yang digunakan harus terbuat dari stainless steel atau bahan bukan logam untuk menghindari karat. Berbagai mesin otomatis telah diciptakan untuk meningkatkan efisiensi penanganan ikan, termasuk mesin penyiangan ikan dan pemisah daging yang dapat diatur sehingga sedikit sekali daging merah yang terikut keluar. Selain itu telah diciptakan alat decanter yang dapat memisahkan minyak ikan dari air pencuci, sehingga memudahkan penanganan limbah pengolahan (Anggawati, 2002).
3.2  Produk Olahan Surimi
Surimi merupakan salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia. Surimi sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992 dalam Haetami 2008).
Surimi dapat dipasarkan dalam keadaan beku. Surimi atau daging lumat merupakan produk setengah jadi yang dapat diolah menjadi berbagai jenis produk, seperti bakso, sosis, nugget, burger, sate lilit, otak-otak, dan pempek. Di Jepang, surimi diolah menjadi kamaboko, chikuwa,hanpen,dan fishham. Selain itu surimi juga dapat digunakan untuk produksi surimi based products seperti produk analog udang dan daging kepiting (Irianto, 2007).

              Gambar 01.  Salah satu produk olahan berbahan baku surimi             

Surimi juga membuka peluang pemanfaatan sumberdaya ikan yang dipandang tidak ekonomis, sekaligus memberikan kemudahan dalam pembuatan berbagai produk ikan. Produk dengan bahan baku surimi biasanya dikenal dengan sebutan fish jelly products. Selain bakso dan sosis ikan, produk ini dijumpai dalam berbagai sebutan dan jenis antara lain nuget ikan, breaded ikan, kue ikan, stik ikan, keong ikan, dan kaki naga yang semuanya sudah dibumbui dan siap untuk digoreng atau diolah lebih lanjut dan tanpa rasa amis. Surimi atau daging ikan giling ini awalnya digunakan sebagai produk antara untuk membuat kamaboko (produk gel ikan).  Saat ini, surimi juga digunakan untuk membuat fish ball (sejenis bakso), sosis ikan dan produk seafood tiruan.  Produk seafood tiruan yang dibuat dari surimi
memiliki tekstur dan nilai nutrisi yang sama dengan produk asli-nya, tapi
dengan kandungan kolesterol yang lebih rendah (
http://id.shvoong.com/exact-sciences/1790322-surimi-dan-kamaboko/).





















BAB IV
PROSEDUR PENGOLAHAN
4.1  Bahan  Dan Peralatan
4.1.1  Bahan Baku :
a)     Ikan :
Secara teknis, semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Tetapi, idealnya ikan yang akan dijadikan surimi berdaging putih, tidak berbau lumpur atau berbau amis menyengat, dan yang terpenting mempunyai kemampuan membentuk gel sehingga tekstur surimi akan elastis. Untuk mendapatkan surimi yang berkualitas tinggi, harus digunakan bahan mentah ikan yang masih segar. Pembekuan ikan akan menurunkan kualitas surimi.
            Surimi yang dibuat dari jenis ikan berdaging merah warnanya lebih gelap dan kemampuannya dalam membentuk gel lebih rendah dibanding ikan berdaging putih, seperti tenggiri atau remang. Selain itu bau dan rasanya khas, sehingga hanya dapat digunakan untuk membuat produk yang warnanya tidak harus putih. Masalah lain yang dihadapi dalam pembuatan surimi dari ikan berdaging merah antara lain penyiangannya lebih sukar dan daging merah mengandung lemak lebih banyak dibanding daging putih, surimi dan produk surimi lebih cepat tengik dan penanganan limbah lebih sulit.
b)      Es
c)      Garam dapur
d)     Natrium karbonat, Natrium tripolifosfat, sukrosa, sorbitol.
Bahan mentah ikan yang digunakan harus bermutu  baik.  Apabila mutu kesegaran ikan sudah menurun, akan dihasilkan surimi dengan tekstur elastisitas gel yang rendah (http://id.shvoong.com/exact-sciences/1790322-surimi-dan-kamaboko/).
4.1.2  Peralatan :
a)  Pisau dan talenan
b)  Sendok makan, kalau ada alat pemisah daging (meat separator)
c)  Kain saring dan alat pengepres kalau ada sentrifuse
d)  Pengaduk adonan atau mixer
e)  Bak atau ember pengadukan (dari stainless steel, fiber glass atau plastik)
f)   Wadah/pan pembekuan
g)  Alat pembeku (freezer)
h)  Plastik pengemas (bukan polietilen yang mudah hancur pada suhu beku).

4.2  Proses Pembuatan
            Anggawati (2002), menyatakan alur proses pembuatan surimi yaitu penyiangan, (pembuangan isi kepala dan perut), pemisahan daging dari kulit dan tulang menggunakan alat pemisah daging (meat separator), pencucian dengan air es (suhu 10C), pemerasan/pemisahan air pencuci, pelumatan/pencacahan, penggilingan dan pencampuran (penambahan garam, gula, pati, bahan untuk membantu pembentukan gel atau elastisitas, seperti KBrO dan CaCl2, dicampurkan paling akhir), produk akhir surimi (surimi beku).
            Menurut Koswara (2008), tahap – tahap pembuatan surimi ialah seleksi bahan mentah, pencucian dan penyiangan, pelumatan daging, pencucian, pembuangan air, penyaringan/pemurnian, penambahan bahan pembantu, pengepakan dan penyimpanan.
Jika digunakan ikan beku maka ikan harus dilelehkan dalam air, atau yang lebih cepat dengan microwave. Dan ikan yang telah dilelehkan tersebut harus segera diolah.
Untuk lebih jelasnya, proses pengolahan surimi dapat dilihat pada digram dibawah ini :

                                                               
                                                                ikan
Penyiangan Dan Pemisahan Daging
Penggilingan/pencampuran (4% sukrosa + 4% sorbitol + 0,3% polifosfat
Pelumatan dan pencacahan
Pencucian
 

















                                                                                                
Pencucian dan Pemerasan air (3-5 X, air) es)
Pembekuan




 





    
 

Surimi

Sumber : Anggawati, 2002
Gambar 02. Diagram alir pembuatan surimi ikan

4.2.1 Penyiangan (Pembuangan Kepala dan Isi Perut)
            Menurut Anggawati (2002), kepala dan isi perut harus segera dibuang sebelum pemisahan daging. Jika bagian ikan tersebut tercampur dengan daging maka kualitas surimi akan menurun, karena :
v    Kepala dan isi perut ikan mengandung lemak dan protease yang dapat menurunkan kemampuan membentuk gel;
v    Isi perut akan menggelapkan warna surimi.
Ikan yang telah disiangi dicuci bersih untuk menghilangkan sisa-sisa isi perut, darah, sisik, dan lain-lain. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak daging.
Penyiangan dilakukan untuk memisahkan bagian kepala, jeroan dan tulang, sehingga akan diperoleh daging ikan yang masih berkulit. Selanjutnya daging dilumatkan dengan meat saparator yang dapat melumatkan daging untuk memisahkan kulit, sisa tulang dan serat daging sehingga hanya diperoleh daging saja. Pelumatan dapat juga dilakukan dengan penggilingan daging biasa, hanya kulit harus dilepas dulu sebelum digiling (Koswara, 2008).
4.2.2 Pemisahan Daging
            Pemisahan daging dapat dilakukan dengan alat pemisah daging (meat separator). Ikan dipres pada lempengan logam yang berlubang-lubang berdiameter 3-5 mm dimana daging ikan akan terperas keluar melalui lubang-lubang tersebut sedangkan kulit dan tulang tertinggal pada lempengan. Selama proses pemisahan ini suhu daging ikan dipertahankan tetap rendah. Ikan yang berukuran besar lebih dahulu difilet dan dibuang tulangnya untuk memisahkan lemak dan daging merahnya.


4.2.3  Pencucian
            Pencucian dengan air es merupakan tahap yang paling penting dalam pembuatan surimi karena dalam proses pencucian ini komponen nitrogen terlarut, darah, pigmen dan juga lemak yang ada pada daging lumat terbuang, sedangkan protein miofibrilar menjadi pekat, sehingga kemampuan membentuk gel meningkat. Konsentrat protein yang tercuci ini memiliki kekuatan tarik dan elastisitas yang baik. Pencucian juga menghilangkan bau dan warna, terutama jika kesegaran ikan yang tidak prima lagi (Anggawati, 2002).
            Tahapan pencucian pada dasarnya sebagai berikut :
v    Penambahan air es (suhu 1oC) 3 – 4 kali volume daging lumat.
v    Pengadukan campuran sampai homogen.
v    Pembuangan kotoran dan pengendapan daging.
v    Pemisahan daging dan lemak yang mengapung.
Lanjut Anggawati (2002), pencucian ini dilakukan berulang-ulang, biasanya 3-5 kali. Untuk usaha skala kecil biasa digunakan ember, sedangkan pada skala industri digunakan tangki berkapasitas 0,5-1 ton dengan pengaduk atau pompa vakum untuk memasukkan daging ikan lumat ke dalamnya. Untuk mencuci daging merah ikan dapat digunakan mesin pemutih daging yang terdiri atas tangki pencuci.
4.2.4 Pemerasan/Pemisahan Air Pencuci
Masih menurut Anggawati (2002), setelah pencucian, kandungan air harus diturunkan sampai sekitar 85%. Pada industri skala kecil dapat digunakan kain saring dan alat pengepres. Proses ini menghasilkan surimi berkualitas tinggi karena suhu daging ikan tidak naik selama pemerasan air, sehingga denaturasi protein dapat dihindari.
Anggawati (2002) menambahkan, pada industri skala besar, pemerasan air dilakukan dengan alat pengepres, sentrifuse atau dengan screw press, dimana daging ikan sambil dipres diputar dan didorong maju dalam saringan semacam screw  yang berlubang-lubang. Kerugian sistem ini adalah terjadinya peningkatan suhu daging ikan selama pengepresan.
4.2.5 Pelumatan/Pencacahan
            Menurut Anggawati (2002), daging yang telah diperas airnya dimasukkan ke dalam mesin pencacah daging. Kegiatan ini harus dilakukan dalam ruangan bersuhu rendah dan daging serta mesin pencacah harus didinginkan terlebih dahulu sebelum dioperasikan.
Daging yang telah dilumatkan selanjutnya dicuci dengan air dingin (5 -10oC) dengan cara direndam dan diaduk-aduk 5 – 10 menit, yang diikuti dengan penyaringan. Pencucian dilakukan sebanyak 2 – 3 kali. Untuk ikan dengan kadar urea yang tinggi seperti ikan cucut, pencucian dilakukan lebih banyak yaitu 4 – 5 kali untuk menghilangkan bau pesing yang tidak disukai. Pencucian berguna untuk memisahkan darah, bahan organik, enzim, urea, protein larut air serta memperbaiki bau dan warna. Pada pencucian terakhir ditambahkan 0.3 persen garam untuk mempermudah pembuangan air. Untuk menghilangkan air dapat dilakukan dengan pemerasan dengan menggunakan kain saring (kain kasa) atau blacu, kemudian diperas baik dengan tangan maupun dengan alat pengepres (Anggawati, 2002).







4.2.6 Penggilingan dan Pencampuran
            Anggawati (2002) berpendapat bahwa, dalam industri skala kecil, pencampuran dapat dilakukan dengan mortar yang terbuat dari batu atau stainless steel. Sedangkan dalam industri skala besar digunakan blender atau silent cutter.
            Penggilingan dan pencampuran merupakan tahap yang terpenting dalam pembuatan surimi yang terdiri atas tiga tahapan :
v    Penggilingan daging. Setelah pencacahan, daging digiling untuk menghaluskan partikelnya sehingga memudahkan protein bereaksi dengan garam atau bahan-bahan tambahan lainnya. Tetapi hal ini tidak boleh dlakukan terlalu lama karena akan menurunkan kemampuan membentuk gel.
v    Penambahan garam. Dengan penambahan garam, daging lumat akan berbentuk pasta kental, disebut surimi. Selama pencampuran ini harus dihindarkan kenaikan suhu karena akan membuat daging menjadi lembek. Untuk ini harus digunakan alat berpendingin atau dilakukan dalam ruangan yang dingin.
v    Pencampuran bahan tambahan lainnya, seperti gula, pati dan flavoring. Gula pasir halus 4,4%, sorbitol 4,4% dan poliposfat 0,2 %, kemudian dicampur merata. Jumlah gula dan sorbitol yang ditambahkan dapat diatur sesuai dengan jenis dan tingkat kemanisan yang dikehendaki. Bahan untuk membantu pembentukan gel atau elastisitas, seperti KBrO dan CaCl2, dicampurkan paling akhir.


Produk akhir ini disebut surimi beku. Produk dikemas dalam dalam bentuk blok dan pembekuan serta penyimpanannya dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis pembekuan ikan.
.
Gambar 03. Ikan yang telah dilumatkan (Surimi)

Selain daging ikan, bahan lain yang biasa digunakan adalah air, pati gandum, pati tapioka, putih telur, minyak kedelai, garam, isolat protein kedelai, polifosfat, pewarna, komponen flavor dan bumbu atau
rempah.  Jika struktur surimi dibentuk oleh gel, maka bahan-bahan lainnya dibutuhkan untuk membantu menstabilkan dan memodifikasi tekstur (
http://id.shvoong.com/exact-sciences/1790322-surimi-dan-kamaboko/).
4.2.7  Pembekuan Surimi
            Untuk pembekuan surimi beberapa bahan tambahan (‘cryoprotectant’) dicampurkan selama pendinginan untuk menghindari kerusakan protein selama pembekuan. Cryoprotectant yang biasa digunakan gula, garam dan fosfat. Jumlah cryoprotectant yang ditambahkan biasanya sekitar 4,0% sorbitol, 4,0% glukosa atau sukrosa dan 0,3% sodium tripolifosfat (SNI, 1992).
Gambar 04.  Produk surimi dalam kemasan
            Menurut Anggawati (2002), untuk mempertahankan kualitasnya suhu surimi beku harus dipertahankan di bawah suhu -250C selama transportasi dan penyimpanan. Fluktuasi suhu akan menurunkan kemampuan surimi membentuk gel. Dengan penyimpanan pada suhu tersebut surimi dapat disimpan sampai satu tahun. Tetapi jika surimi beku disimpan pada suhu -100C kualitasnya akan menurun setelah satu bulan dan tidak dapat dipakai lagi setelah tiga bulan.
Jadi fluktuasi suhu selama pengiriman ke konsumen harus dipertahankan untuk mempertahankan mutu surimi. Kualitas surimi akan menurun jika selama transportasi surimi sempat meleleh dan kemudian membeku kembali selama penyimpanan selanjutnya (Anggawati, 2002).



BAB V
PENUTUP
5.1    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah Studi Pustaka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Adapun urutan proses pengolahan surimi ikan meliputi: penyiangan (pembuangan kepala dan isi perut), penyiangan (pembuangan kepala dan isi perut), pemerasan/pemisahan air pencuci, pelumatan/pencacahan, penggilingan dan pencampuran, pembekuan surimi.
2.    Keuntungan pembuatan ikan menjadi surimi yaitu bahan dan harganya stabil, biaya penyimpanan dan transportasi lebih rendah, menghemat tenaga kerja. Surimi merupakan bahan baku untuk pembuatan produk selanjutnya atau diolah kembali menjadi makanan antara lain bakso, sosis, kamaboko, chikuwa, fish stick, agemono, detemaki, dan beberapa produk imitasi seperti telur, kaki atau daging kepiting, udang, daging kerang, daging sapi dan lain-lain.

5.2    Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas penulis menyarankan bahwa perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat luas tentang pengolahan surimi ikan, karena proses pengolahannya mudah dan dapat disimpan dalam waktu yang lama serta dapat diolah kembali menjadi makanan yang dapat dikonsumsi secara langsung maupun produk makanan yang bernilai ekonomis untuk dijadikan suatu usaha.





DAFTAR PUSTAKA
Anggawati. A. M. 2002. Kumpulan Hasil-Hasil Penilitian Pasca Panen Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk Dan Sosial Ekonomi Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta
Haetami. R. R. 2008. Karakteristik surimi hasil pengkomposisian tetelan ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dan ikan layang (Decapterus sp.) pada penyimpanan beku [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Irianto. H. E. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Badan Riset Kelautan Dan Perikanan Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta
Koswara. S. Surimi Suatu Alternatif Pengolahan Ikan. http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/SUMIRI,%20SUATU%20ALTERNATIF%20PENGOLAHAN%20IKAN.pdf. Diakses pada 18 oktober 2009.
Murachman, 1987. Pengetahuan Hasil-hasil Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang.
Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1992. Cryostabilization of protein in surimi. Dalam: Lanier TC, Lee CM (eds.). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.
Nurfianti D. 2007. Pembuatan Kitosan Sebagai Pembentiukan Gel Dan Pengawet Bakso Ikan Kurisi [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Peranginangin, R., dkk, 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Santoso J. 1997. Perubahan sifat fisiko-kimia surimi ikan kerot-kerot (Pomadasys hasta) selama penyimpanan beku. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 6(1): 75-92.
Trisnawati. R. 2007. Pemanfaatan surimi ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dalam pembuatan empek-empek [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat Mutu Surimi Beku. SNI 01-2693-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
http://translate.google.co.id/2008/surimi diakses pada 18 oktober 2009